The meaning of DOKTER.
Pagi itu hari sabtu, dan aku dimintai tolong untuk membantu mentoring adik kelas karena mereka akan ujian Biokimia, semacam review and recall. Materi yang harus aku garap ternyata banyak, karbohidrat, protein, lipid, dan digestive. Wah lumayan berat ku pikir, karena aku sendiri tidak sempat belajar semalam. Tapi tak apa , aku coba saja, Toh sekalian merefresh ingatan tentang biokim toh. Waktu berjalan tanpa terasa, hampir 2 jam lebih aku mentoring, dan sudah hampir memasuki waktu shalat dzuhur. Bertepatan dengan adzan, acara mentoring ini selesai, dan aku bergegas mengembalikan buku Nelson-pediatrik yang sangat berat itu ke perpustakaan, dan langsung meluncur ke masjid Ibnu Sina FK –UGM. Sesampainya disana ternyata shalat berjamaah sudah selesai, dan akhirnya aku shalat sendiri. Selesai shalat aku duduk-duduk sebentar karena ada janji dengan teman. Sambil duduk aku tidak sengaja mendengarkan ceramah dari dokter Edi Mulyono spesialis radiologi. Walau awalnya biasa saja, tapi entah kenapa lama kelamaan ceramah yang disampaikannya menarik, dan mengajak diri ini berfikir ulang akan esensi menjadi seorang DOKTER.
Ceramah beliau begitu mencengang kan, dan beliau paparkan atas pengalaman beliau. Mungkin ini yang namanya “pengalaman adalah guru yang paling baik” mungkin dibilang begitu karena pengalaman tidak pernah memberikan tugas atau PR. Sebenarnya ceramah yang beliau paparkan waktu itu lebih seperti sharing untuk senior ku yang sebentar lagi memasuki masa Ko-ass, isi ceramahnya seputar kehidupan dokter dan ibadah.
Dr Edi “IBADAH mengandung pengertian tertentu, jika boleh di uraikan secara mudah ibadah memiliki beberapa arti dari tiap hurufnya” dengan antusias.
I = ikhlas. Ikhlas disini memiliki arti lilahi ta’ala, “apa yang kita lakukan semuanya bertujuan untuk mendapatkan ridha Allah?” papar nya dengan gaya khas.
Baru saja huruf “I” aku sudah tercengang sambil memikirkan apakah yang selama ini aku kerjakan sudah memiliki nilai ikhlas?.
B = baik dan benar. Dalam menjalankannya harus secara baik dan benar, karena ada tata caranya tersendiri, dan tidak boleh asal asalan. Beliau menuturkan bahwa hal ini erat hubungannya dengan kehidupan dokter, semua yang kita lakukan saat di klinik nanti, harus dilakukan dengan baik dan benar. “masa operasi ortopedi asal asalan?, meresepkan obat seenaknya” ujar beliau sambil memandang kami semua. Dari situ aku langsung mengeluarkan handphone dan mencatatat semua perkataan beliau yang kuanggap penting.
A = Amal, “bernilai Amal tidak? Apakah hal yang kita lakukan selama ini hanya bernilai biasa saja. Tidak ada nilai amal sedikit pun? Identifikasi dan luruskan niat” ujar beliau dengan gaya nya yang khas
D = Dienul Islam, “benar benar karena kita ISLAM bukan sekedar menjalankan tanpa tau artinya, semisal hal yang paling sering di contoh kan dokter edi adalah saat shalat, membaca al-fatihah atau tahiyat, mengertikah kita artinya? Atau hanya sekedar menghafal dan membaca?” ujar nya berapi api. Aku rasa pantas jika beliau mempertanyakan hal itu, terkadang aku pun sering hanya membaca tanpa tahu artinya. Sungguh rasanya ceramah ini menampar dengan keras.
A = akhlak mulia, sudahkah ibadah yang kita lakukan mencerminkan akhlaq kita? Memperbaiki ahlaq kita yang buruk?” begitu Tanya beliau kepada para audiens, termasuk aku yang tak sengaja ikut mendengarkan. Mungkin ini yang dimaksud firman-Nya “ sesungguhnya shalat itu menjauhkan diri kita dari perbuatan Maksiat”. Tambah merinding aja mendengarkan ceramah ini.
H = Hijrah, hijrah disini bermaksud pindah orientasi dari dunia ke Akhirat. “seharusnya, dengan ibadah yang kita lakukan, kita semakin ingat bahwa orientasi kita sebenarnya adalah akhirat, bukan hanya dunia saja. Sudah ibadah yang kita lakukan membuat orientasi kita berubah dari dunia ke akhirat? Atau masih sama saja?” ujar beliau. Hmm membuat ku semakin panjang berfikir tentang ibadah yang selama ini ku kerjakan. “ jangan jangan hanya menggugurkan kewajiban saja tanpa ada nilai lain” pikir ku.
Lengkap sudah pengertian IBADAH versi dokter Edi dan sangat menyentuh. Dan ceramah yang tidak sengaja kudengar ini beliau mengajak ku untuk berfikir kembali. Beliau melanjutkan ceramahnya sembari cerita beberapa hal. Dan dilanjutkan dengan pertanyaan mengejutkan. “ adik adik sekalian sudah siap jadi dokter?” ujarnya.
“ insyaAllah” ujar sebagian audiens. Dan sebagian lagi hanya diam
“ sudah punya semua criteria DOKTER?” ucap dokter Edi dengan pandangan tajam
Seketika audiens terdiam kaku, entah karena bingung, entah karena merasa belum tau, aku dan kawan ku hanya bisa berpandangan diam seribu bahasa, karena bingung.
“Dokter, memiliki beberapa criteria dan cirri tertentu”
D= disiplin, seorang dokter harus disiplin, hal yang paling sederhana adalah disiplin waktu, disiplin belajar sbg mahasiwa kedokteran, dan maksud disiplin yang lain. “ apa jadinya kalau dokter tidak disiplin? Datang ke klinik seenaknya, pasien sudah harap harap cemas, tapi dokternya seenaknya? atau sebagai mahasiswa yang datang kuliah saja terlambat”. Beliau memang terkenal sangat disiplin, baru 2 kali kuliah radiologi dengan beliau, sudah banyak korban yang terlambat. Alhamdulilah aku belum pernah terlambat kuliah beliau..
O= optimis, “rasa optimis itu penting, sebagai seorang dokter” ujarnya dan para peserta pun hanya diam seribu bahasa. Entah merasa sangat hikmat atau terlampau bingung. Aku pribadi merasa cukup paham dengan yang dikatakannya.
K=komprehensif, “maksudnya adalah menyeluruh”. “Menyeluruh?” batin ku bingung
“ hal ini lah yang suka dilupakan oleh sebagian dokter masa kini. Mereka hanya memeriksa keluhan dan memberikan obat symptomatic, bukan mengobati causative. Misal seorang pasien anak datang dengan keluhan demam dan batuk menetap. Dokter biasanya hanya memberikan obat demam dan batuk, tidak memeriksa secara menyeluruh dari aspek nutrisi, imunisasi anak, gejala umum” begitu kata dokter Edi.
Seketika pikiran ku melayang, “berarti jadi dokter itu harus pintar banget ya, minimal rajin lah, karena dokter nanti kan akan menghadapi keluhan dari A sampai Z dan merangkum nya menjadi diagnosis yang komprehensif dan memberi treatment yang harus pas, wrong diagnose wrong treatment”
Dokter Edi melanjutkan ceramahnya,
T= tanggungjawab, “tanggung jawab terhadap apa yang kita lakukan, baik yang hasil nya bagus atau pun buruk”. Inilah konsekuensi seorang dokter “bermain dengan kehidupan” harus bertanggung jawab dengan perbuatannya, karena dengan memiliki rasa tanggung jawab kita akan lebih berhati hati dalam mendiagnosis dan treatment untuk menghindari kasus mal praktek.
E= empati, “ini adalah ciri dokter yang paling harus di tonjolkan, kita harus bisa memposisikan diri kita di posisi pasien, akan kah kita meresepkan obat yang mahal kalo itu adalah keluarga kita? Akan kah kita memeriksa secara kasar jika itu orang tua kita?. Banyak dokter masa kini yang hanya berorientasikan kepada materi sehingga kehilangan rasa Empati.
“ wah bener juga ya kata dokter edi” pikir ku, aku jadi teringat waktu pertama kali kuliah di jogja dan aku sakit typus. Dokter yang kudatangi benar benar seenaknya saat memeriksa, saat mendiagnosis saja sudah seperti dikejar setan, belum sempat ku bercerita banyak, dia sudah sering kali memotong cerita. Belum lagi obat yang diberikan berbagai jenis, sampai bingung mau makan nya gimana. Saking banyak nya mungkin bisa dijadikan kudapan saat waktu luang. Untung ada asuransi, jadi gak bayar.
R= ramah, “sebaik baiknya dokter, kita akan berhubungan dengan masyarakat, maka harus ramah”. Dan aku teringat kembali perkataan orang tua ku 1,5 tahun yang lalu “ nak saat kamu jadi dokter nanti, kamu harus ramah ya, tidak boleh sombong, karena banyak orang orang yang hanya ingin diperiksa dokter, ada juga yang hanya ingin menceritakan keluhannya. Dengan menjadi dokter yang ramah pasti banyak pasien yang seneng ke kamu, dan paling gak dia pulang dengan perasaan senang”
Saat ku mengakhiri lamunanku ternyata dokter Edi telah mengakhiri ceramahnya karena beliau harus kembali ke RS Sardjito.
Lalu apa hubunganya ibadah dengan dokter?? Tentu banyak sekali, salah satu firman Allah “ jika kamu menyelamatkan seorang umat manusia, seakan akan kamu menyelamatkan seluruh umat manusia di muka bumi”. Bahkan jobdesk seorang dokter sudah sangat jelas di Al-quran, bekerja sebaik baiknya, dan menyelamatkan orang yang bisa kita tolong. Mungkin memang bukan kita yang menyembuhkan(Allah lah yang menyembuhkan) tetapi dengan izin Allah kita dapat menjadi sarana penyembuhan itu sendiri.
Sepulang dari kampus itu aku langsung mengidentifikasi semua yang kulakukan, apakah niatan belajar ku sudah benar, sudahkan semua yang kulakukan itu bernilai ibadah dan mendekatkan diriku dengan criteria seorang Dokter?. Dari ceramah tadi juga aku sangat bersemangat untuk belajar lebih keras lagi, karena criteria komprehensif dan disiplin menurutku adalah yang paling susah di capai. I want to dream more, to dream more, to do more. Aku gak mau kalau belajar ku main main dan hanya bisa asal asalan, karna tanggung jawab sebagai dokter harus ditanamkan dari sekarang, mumpung masih kuliah pikir ku.
Sebaik baiknya manusia adalah yang berguna untuk orang lain, dan aku gak mau kesempatan ku menjadi dokter ini aku sia-sia kan, karena dengan menjadi dokter bisa menjadi sarana ibadahku ke pada Allah.