Thursday, June 26, 2014

A border that breaks

"When was the last time you doing some thing for the first time?"

Ya kira kira itu yang belakangan ini ada di benak saya. 

Angin dingin di atas kawah ijen masih terasa menusuk ke tulang, saya tidak pernah lupa hari dimana saya merasa tertipu dengan kata kata " melihat kawah ijen" yang saya yakini dari kata melihat adalah menaiki tangga beberapa ratus meter, dan melihat langsung ke kawah yang konon terkenal itu. Gampang nya mungkin seperti melihat tangkuban parahu di bandung sana. 

02.15, 16 juni 2014
Langit masih jauh dari kata terang, bulan masih tinggi, sisa sisa purnama masih jelas terlihat, bintang bintang berkelip menemani perjalanan kami. Tidak pernah ada gambaran buat saya untuk mendaki gunung ijen menuju kawah untuk berburu "blue fire" yang tersohor seantero jagad. Bahkan perjalanan kali ini saya tidak mencari literaturnya sama sekali. Elemen sureprise dari sebuah perjalanan adalah al yang paling saya nanti. Perjalanan kali ini saya percaya kepada kawan saya. Saya hanya ikut saja apa yang dia jalankan. Sehingga persiapan untuk hiking tetntu tidak ada. Padahal kawan saya itu sudah bilang, " nanti seminggu sebelum ke ijen, ya jogging jogging dulu ya, lumayan, meningkatkan kapasitas fungsional" tapi ya apa daya, rasa malas mengalahkan segalanya. 

Perjalanan menuju kawah ijen memakan waktu kurang lebih 2- 2,5 jam. Jalur trekking nya termasuk jelas dan mudah dilalui, karena jalannya lebar dan sudah jelAs. Jalur sepanjang 3 km itu memiliki sudut inklinasi kira kira 30-45 derajat. Sulit memang. Ditengah perjalanan, pemandangan langit yang berbintang sangatlah memanjakan mata. Suara angin gunung yang khas juga sangat enak di dengar. Sayang nya suara angin kadang kalah sama suara nafas yang tersengal sengal. Rombongan kami naik bertujuh, dan saya dan dua orang kawan tertinggal di belakang, yang lain duluan. Saya tudak bisa jalan terburu buru apalagi mendekati puncak, jalan semakin terjal, dan bau sulfur dari kawah makin kuat tercium. Sesak semakin menjadi jadi, ditemani rasa mual. Sempat lah saya mengeluarkan isi lambung ini, walau hanya cairan asam nya saja. Belum lagi mata yang pedih. Saat jalan sudah semakin mendatar, teman saya bilang bahwa kita hampir tiba, dan waktu menunjukan pukul 04.20 suara angin gunung semakin sering terdengar, udara semakin dingin dan oksigen semakin tipis, kecepatan mengatur nafas menurun drastis. Telinga rasanya membeku. Terakhir kali saya merasa sedingin ini adalah ketika saya berada di amsterdam saat itu hanya musim gugur padahal. Setiap kali berbicara sudah pasti beruap. Khas tipikal tempat dingin. Semakin lama angin semakin kencang, menandakan bahwa kami hampir sampai di puncak. Seketika angin seperti akan mendorong saya jatuh ke jurang di sebelah kanan saya. 

Puncak, itu lah yang saya pikirkan. Apakah ini sudah akhir perjalanan mendaki ini? Ditengah tengan mengatur nafas, merapatkan jaket dan memasukan tangan ke kantong.

Im finally here. Speechless

Angin diatas sangat kencang dan dingin. Saya buru buru bertanya kepada bapak yang sejak dini hari sudah mengangkut belerang. 
"Pak kalau saya mau melihat blue fire, kemana kah arah saya harus berjalan" 
" mas jalan aja ke sana sedikit, dari sana aja udah kelihatan kok, kalau mau jelas ya turun kawah mas" sambil menunjukan arah 
Dari sudut itu lah pertama kalinya saya melihat blue fire yang tersohor, yang konon hanya bisa dilihat di dua tempat, di kawah ijen, dan di islandia, dan konon katanya juga, bahwa blue fire ini adalah yang terbesar di dunia. 

What a wonderful indonesia. 
satu lagi pengalaman luar biasa. 
When was the last time you doing something for the first time? Tonight is my first time seeing blue fire, not from google or travel blog, i see it clearly with my eyes. 


Sunset in airport

Yogyakarta, 12 agustus 2017 So this is the end of my (another) journey Selalu ada alasan mengapa seseorang bepergian. Sering kali un...